Kamis, 30 Mei 2013

Resensi Sinopsis Novel Iwan Simatupang KERING

Pengarang     : Iwan Simatupang 
Penerbit         : Gunung Agung
Tahun            : 1972 ; Cetakan II, 1977
Karakter        :    Aku

" Matahari Lohor tak kenal ampun, teriknya melecut langit. Embun segumpal tak ada. udara bergetar, disana-sini ia beruap. berkepul-kepul, dekat ke permukaan tanah.
 Dia sampai di mata air kecil, sedikit di balik bukit kecil, batas utara ladangnya. 
 Kering! Mata air kecil ini pun akhirnya kering juga..." (hal.5)
 Begitulah, kekeringan yang amat panjang telah mengimpit perkampungan kecil para petani transmigran. Satu-satunya mata air yang selama ini menjadi tumpuan penghidupan mereka, kini kering sudah. Sementara permintaan bahan makananan kepada para pejabat pemerintah yang berwenang, tak kunjung datanng juga. mereka mulai dilanda ketakutan akan bahaya kelaparan yang berkepanjangan.
   Kepala desa berusaha menenangkan penduduk. Namun, satu persatu warganya meninggalkan daerah itu. tokoh kita juga mencoba meyakinkan para penduduk agar tetap bertahan di tempat perkampungan itu sambil mencari upaya menanggulangi masalah yang sedang mereka hadapi, tetapi sia-sia. sampai akhirnya, hanya tokoh kita yang tinggal.

   Dengan sisa-sisa makanan yang ditinggalkan penduduk, ia tetap bertahan. hanya satu pekerjaan yang setiap hari ia lakukan, yaitu menggali sumur; mencoba mencari mata air. dalam kesendiriannya itu, tokoh kita ternyata bekas mahasiswa yang genius, terpaksa mencoba berkawan dengan benda-benda dan alam di sekitarnya. Pekerjaan menggali, masih tetap dilakukannya. sampai akhirnya persediaan bahan makanan habis, dan lelaki itu pingsan entah berapa lama.
    Beruntung, ada petugas transmigran yang datang ke daerah tandus itu. Ia menemukan tokoh kita dalam keadaan pingsan. Petugas itu kemudian membawanya ke rumah sakit dan ia dirawat di sana untuk beberapa lamanya.
    merasa dirinya tidak sakit, tokoh kita tak mau lagi dirawat di sana. Dalam perjalanan yang entah kemana, tokoh kita bertemu dengan si pendek gemuk, bekas transmigran yang kini sudah kaya raya. Penyelundupan dan uang uang palsu telah membawa si pendek gemuk mempunyai segala-galanya. Tokoh kita lalu dibawahnya ke rumah mewahnya. Namun, hanya sebentar karena di luar dugaan sahabatnya, tokoh kita tidak mau beristirahat atau ikut menikmati kemewahannya. ia tetap bertekad untuk meneruskan perjalanannya yang  entah ke mana itu. 
    Di sebuah perkampungan aneh, tokoh kita bertemu dengan orang tua aneh. ternyata dia adalah bekas pejuang yang jadi gerombolan. Belakangan, setelah ia membunuh semua anak buahnya, lelaki tua itu pun menghentikan kegiatannya dan hidup menyendiri. kini, kedua manusia yang sama-sama aneh itupun hidup bersahabat.
    " Pada suatu hari, salah satu dari kedua mata air yang masih mengeluarkan air, kering." (hal.81). Keduanya kini sadar bahwa tak ada lagi mata air di daerah itu. setelah terjadi serangkaian diskusi panjang, satu kesimpulan akhirnya mereka peroleh; keduanya bersepakat untuk meninggalkan daerah itu. " Pernah aku cerita padamu tentang kawanku si penyelundup, bukan? bagaimana, bila kita cari pondokan padanya saja?"
    " Si janggut setuju. Mereka ke sana." (hal. 93)
    Sampai di rumah si pendek gemuk, mereka disambut perempuan simpanannya yang disebut wanita VIP. tokoh kita dan si orang tua berjanggut diterima secara sangat istimewa. Bahkan pada malamnya, di kamar masing-masing sudah tersedia wanita cantik yang siap melayani mereka. Ternyata, apa yang dilakukan tokoh kita dan orang tua berjangut itu, di luar dugaan kedua wanita cantik itu. Mereka sama sekali tak disentuhnya, bahkan diberi berbagai wejangan dan nasihat. Bagi kedua wanitu itu, ini merupakan penghinaan sekaligus penghormatan. Sebuah pengalaman yang selama karirnya sebagai wanita penghibur, baru pertama kali itu mereka rasakan.
                                              "MOHON MAAF,SEBAGIAN TEKS HILANG"

Namun, rupanya turunnya hujan telah membawa bencana pula. beberapa orang disambar peitr. Penduduk ketakutan. mereka kemudian bermaksud mengungsi; kota yang dibangun ikut hancur. pada saat iringan pengungsi itu mulai meninggalkan kota, tokoh kita segera mencegatnya." kita bangun kembali...," begitu ajakan tokoh kita. Dengan tekad itu, mereka tak jadi mengungsi. kota yang sudah hancur akan segera dibangun kembali dengan semangat dan tekad baru

    "sejak saat itu gairah baru telah merebut seluruh dirinya." (hal.168) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar